Ekonomi Bisnis Pemerintahan

Sabtu, 6 Juli 2024 - 14:02 WIB

2 bulan yang lalu

logo

SGN: Tercapainya Swasembada Gula Nasional Kuncinya Dengan Membangun Ekosistem Tebu Rakyat Yang Kuat 

Yogyakarta | klikku.net – Pemerintah telah mencanangkan target swasembada gula  konsumsi tahun 2028 dan swasembada gula  nasional tahun 2030 sesuai dengan Perpres 40 Tahun 2023.

Agar bisa tercapai target tersebut Direktur Utama Sinergi Gula Nusantara (SGN) Mahmudi menyampaikan kuncinya harus dibangun Ekosistemnya tebu rakyat yang kuat.

Kemudian sinergi antar kementerian dan lembaga harus dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani untuk mendapatkan bibit, pupuk hingga akses pendanaan. SGN dari PTPN group akan melakukan penguatan organisasi di tebu rakyat.

“Sudah dihitung ada sekitar 200 orang yang akan di dedikasikan untuk melakukan penguatan tebu rakyat,” kata Mahmudi seusai focus group discussion (FGD) di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa (2/7) lalu.

Mahmudi menambahkan saat ini SGN juga berupaya melalui koordinasi dengan Kemenko Perekonomian agar ada KUR khusus klaster tebu, serta berencana membangun warung-warung bibit di dekat pabri gula (PG), dan menyiapkan ekosistem digital bagi petani. Dengan handphone (Hp)

memudahkan petani mengakses mencari keberadaan bibit tebu, termasuk akses pembiayaan yang difasilitasi SGN dan fitur terkait bimbingan teknis (Bintek) kebutuhan kelompok petani tebu.

“Saya yakin jika dengan penguatan ekosistem ini secara bertahap swasembada gula kita pada 2028 dengan produksi gula 8 ton per hektare bukan sesuatu yang mustahil untuk bisa tercapai,” harapnya.

Ditempat yang sama Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Andi Nur Alam Syah saat diwawancarai media menjelaskan, peta menuju swasembada gula ini telah dirancang dengan target utama yang harus dilakukan tahun ini adalah perbaikan kelembagaan petani agar mudah mendapatkan akses pembiayaan, serta mendapatkan bibit tebu yang murah dan cepat.

Komoditas gula ini akses pembiayaanya, bagaimana mudah untuk dilakukan mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), suku bunga kredit diturunkan, serta penyediaan bibit/varietas tebu yang unggul yang murah dan cepat.

Dikatakan bahwa saat ini kondisi perkebunan tebu di Indonesia sudah waktunya untuk melakukan bongkar ratoon atau peremajaan tanaman (tanam ulang). Sebab, dari luasan eksisting 504.000 hektare lahan kebun tebu, sekitar 86% belum melakukan peremajaan tanaman selama lebih dari 5 – 10 tahun. Padahal idealnya, minimal yang belum melakukan bongkar ratoon adalah 25% supaya produktivitas tebu bisa mencapai target 90 ton per hektare.

“Luasan lahan itu, kalau dikelola dengan baik itu bisa mencapai target swasembada gula yang kita impikan. Yang terjadi saat ini, petani kita tidak punya kemampuan untuk melakukan bongkar ratoon, padahal seharusnya dilakukan setiap 5 tahun, tanaman tebu kita harus diperbaikai varietasnya,” ungkapnya.

Sedangkan kata Andi, Dirjen Perkebunan selama ini mendapat dana anggaran Perkebunan sekitar Rp1,1 triliun. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak, dari petani, pabrik pengolahan gula, lembaga pembiayaan, akademisi serta penyedia bibit tebu.

Maka untuk melakukan bongkar ratoon dari luasan lahan yang ada, petani butuh miliaran mata benih tebu varietas unggul. Namun kemampuan penyediaan benih masih 40% dari kebutuhan yang diperlukan.

“Maka dari itu, kalau menyediakan benih banyak, terus siapa yang mau beli, sedangkan petani memilih bongkar ratoon sampai 10 tahunan. Nah ekosistem perbenihan ini harus dijalankan, maka petani akan berbondong-bondong melakukan bongkar ratoon,” tuturnya.

Disampaikan Andi, saat ini pemerintah juga tengah menginisiasi Badan Pengelola Perkebunan. Harapannya ke depan perkembangan sektor perkebunan tidak lagi bertumpu pada APBN. Dirjen Perkebunan juga sudah mengusulkan agar import gula rafinasi diberi pengenaan bea masuk yang nantinya digunakan untuk pengembangan perkebunan tebu rakyat.

“Dirjenbun juga memasukkan kembali komoditas tebu ke dalam daftar penerima pupuk subsidi. Saya berkolaborasi dengan Dirut PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk menghitung detail kebutuhan pupuk, jadi langsung dipatok berapa juta ton yang diperlukan untuk mencapai target produksi gula,” ungkapnya.

Selain itu, ke depan juga diperlukan langkah konkrit bahwa mendekati 5 tahun setelah peremajaan tanaman tebu, penyediaan benih murah dan gratis harus sudah disiapkan.

“Nanti yang gratis bagian pemerintah, saya berharap ada aturan yang bersifat mandatory untuk membiayainya. Memang gratis tidak bisa semuanya,” ungkapnya.

Di tengah sulitnya tenaga kerja perkebunan, tambah Andi, Dirjenbun juga mendorong adanya moderinsasi atau mekanisasi pada industri gula ini. Sistem penyewaan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang dimiliki oleh kelembagaan.

“Saya akan tarik perusahaan asing agar membiayai di awal untuk investasi beli alsintan baru. Itu saja kuncinya, pasti modernisasi perkebunan akan bergerak otomatis,” imbuhnya.

Sementara Asisten Deputi Pembaharuan dan Kemitraan Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Bagus Rahman menambahkan, pihaknya akan memperkuat petani dari sisi kelembagaan melalui pendampingan sehingga petani tebu punya badan usaha dan badan hukum serta akses pembiayaan untuk mendapatkan dukungan budidaya tebu.

“Dari sisi bank, KUR akan disiapkan kalau ada kepastian pasar, dari sisi BUMN, akan siap menyerap hasil tebu petani untuk diolah jadi nilai tambah. Maka harapannya, KUR khusus klaster tebu itu bisa Rp500 juta/orang, bahkan bisa repeat KUR,” ungkapnya.

Ketua Asosiasi Petani Tebi Rakyat Indonesia (APTRI), Sunardi Edi Sukamto mengakui, memang untuk melakukan bongkar ratoon membutuhkan biaya yang sangat mahal sekitar Rp58 juta/ha bahkan lebih dengan pengerajaan mulai dari komponen bajak, pengairan, pupuk, sampai bibit.

“Untuk itu petani butuh dukungan pemerintah dengan kebijakan yang harus berpihak dan konsisten. Sebab, maaf, dari lahir sampai sekarang program menuju swasembada tidak pernah tahu kapan tercapainya. Jadi harapan petani ada proteksi dan jaminan bahwa usaha tani ini untung,” katanya.

Sebagai contoh, kata Sunardi, persoalan perlindungan Harga Acuan Pembelian (HAP) petani yang saat ini sebesar Rp14.500/kg, dan HAP tingkat konsumen Rp17.500/kg harus konsisten, setidaknya HAP itu bertahan selama 5 tahun agar petani tidak merugi.

“Kalau HAP hanya bertahan setahun, lalu harga gula luar negeri turun dan masuk ke pasar kita, ya petani akan mati. Jadi butuh ditetapkan 5 tahun supaya kita hanya fokus berbenah di kebun dan meningkatkan produksi, jadi ada jaminan. Kalau tahu-tahu harga naik turun, petani akan mati bersama-sama. Pemerintah harus konsisten jaga semuanya,” pungkas Sunardi.


Soen

Artikel ini telah dibaca 396 kali

Baca Lainnya